KEBUDAYAAN MAKANAN
Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi kelangsungan hidup manusia. Tidak hanya itu, ternyata setiap negara juga memiliki budaya makanan tersendiri, baik dari cara penyajian hingga mengonsumsinya. Indonesia sudah dikenal memiliki banyak sekali makanan tradisional mulai dari Sabang sampai Merauke. Setiap makanan tradisional tersebut tentunya menyimpan sebuah cerita sejarah yang berhubungan dengan kebudayaan Indonesia. Berikut ini terdapat 16 jenis makanan tradisional Indonesia yang mengandung unsur sejarah dan budaya.
1. Kalebo
Kaledo atau singkatan dari Kaki Lembu Donggala merupakan hidangan khas kota Palu, Sulawesi Tengah, asalnya dari Bukit Tadulako, Kabupaten Donggala dan memiki arti tidak keras, karena daging kaledo sendiri telah melalui proses
perebusan yang panjang sehingga tidak keras saat digigit. Cara memasaknya adalah pertama kaki lembu atau sapi direbus dengan garam, asam jawa dan
bumbu rica-rica yang terdiri dari cabai serta bumbu ulek. Setelah itu biarkan
hingga kaki lembu empuk dan mengeluarkan kaldu. Kaledo pun siap disajikan bersama air perasa jeruk nipis,
bawang goreng dan sambal. Biasanya kaledo disantap dengan menggunakan sedotan untuk dapat menikmati bagian sumsumnya.
2. Apem Boyolali
Tradisi sebar apem di kawasan
Pengging ini berawal di zaman pujangga kraton Yosodipuro I, kala itu masyarakat
mengeluhkan serangan hama keong mas dan tikus yang mengakibatkan gagal panen.
Kemudian Yosodipuro meminta petani untuk memasak hama keong mas dengan cara
dikukus dan dibungkus dengan janur. Sejak saat itu, hama keong mas menghilang
dan petani kembali bisa menikmati panen. Sumiyati (warga) meyakini apem
yang disebar tersebut akan membawa berkah baginya. Selain untuk pertanian agar
tidak diserang hama dan hasil panennya bagus, juga digunakan untuk pelaris
dagangan. Sejumlah abdi dalem Keraton
Surakarta biasanya menggiring kerbau saat kirab tradisi Sebar Apem Keong Emas di
Pengging, Boyolali. Ritual tersebut biasa dilakukan saat bulan Sapar pada
penanggalan Jawa sebagai wujud rasa syukur atas kelimpahan rezeki dan hasil
pertanian dari Tuhan Yang Maha Esa. Upacara ritual Tumpengan Sebar Apem Kukus
Keong Mas tersebut diawali dengan kirab budaya keliling desa menuju halaman
Mesjid Cipto Mulyo atau peninggalan Paku Buwono X Keraton Surakarta di kawasan
wisata Pengging.
3. Roti Buaya
Roti
ini memiliki makna tersendiri bagi warga Betawi, yakni sebagai ungkapan
kesetiaan pasangan yang menikah untuk sehidup-semati atau bisa dikatakan sebagai salah satu syarat bagi mempelai laki-laki di dalam pernikahan adat betawi . Makna ini terinspirasi
dari perilaku buaya yang hanya kawin sekali sepanjang hidupnya. Selain itu roti
buaya juga menjadi simbol kemampanan ekonomi. Dengan maksud, selain bisa saling
setia, pasangan yang menikah juga memiliki masa depan yang lebih baik dan bisa
hidup mapan. Bahan dasar roti buaya sangat sederhana, yakni terigu, gula pasir,
margarin, garam, ragi, susu bubuk, telur dan bahan pewarna. Keseluruhan bahan
tersebut dicampur dan diaduk hingga rata dan halus, kemudian dibentuk menyerupai
buaya. Setelah bentuk kemudian dioven/panggang hingga matang. Roti buaya
ini biasanya dibagikan kepada para tamu undangan yang masih lajang, dengan
harapan yang menerimanya segera mendapat jodoh dan menikah. Sebenarnya, roti
buaya ini mulai dikenal oleh orang-orang Jakarta pada saat bangsa Eropa masuk
Indonesia. Lalu membawa pengaruh terhadap pemikiran masyarakat asli Jakarta
bahwa setiap pernikahan harus memiliki sebuah tanda yang mewakilkan acara
sakralnya. Simbol pernikahan yang dimiliki oleh bangsa Eropa pada saat itu
adalah bunga. Merasa tak ingin kalah dan tak ingin meniru Eropa, orang Betawi
pun berusaha untuk menerapkan simbol yang dibuat sendiri dalam adat
pernikahannya. Roti buaya akan dipajang di
tengah-tengah ruangan hingga acara pernikahan selesai. Setelah itu, roti
tersebut akan ditaruh di atas lemari pakaian di kamar pengantin. Karena roti
buaya tersebut keras dan tidak punya rasa, roti ini pun akan tahan lama.
Kualitas roti buaya yang tahan lama dilihat dari keras tidaknya roti. Roti buaya
akan dibiarkan hingga hancur dan berbelatung di atas lemari. “Inilah yang
menjadi perlambang bahwa dua roti buaya simbol suami istri tersebut hanya bisa
dipisahkan oleh maut, oleh raga yang sudah berbelatung.
4. Dendeng
Dendeng merupakan salah satu cara
pengawetan daging secara tradisional dan sudah banyak dikenal oleh masyarakat
Indonesia. Dendeng diolah dengan menambahkan bumbu berupa rempah-rempah dan
dikeringkan baik menggunakan bantuan sinar matahari ataupun dengan oven.
Dendeng biasanya disajikan dengan cara digoreng dan biasanya ditambahkan bumbu
lainnya untuk meningkatkan citarasa dari dendeng tersebut. Dendeng dibuat oleh
suku Minangkabau, pada awalnya, dendeng dibuat dari daging sapi, mereka
mengeringkan daging sapi sehingga dapat dimakan untuk selama beberapa hari dan
membawanya selama mereka bepergian.
5. Klapertart
Klappertaart adalah ikon daerah
Sulawesi Utara (Manado) juga telah masuk dalam Makanan Khas Nusantara bersama
dengan 30 jenis makanan lainnya dari berbagai daerah. Klappertaart adalah kue
yang menjadi ikon khas daerah Manado, berasal dari kata Klapa dan Taart yang
berarti kue kelapa. Nama kue ini di daerahnya bisa juga disebut pie kelapa.
Konon kue ini berasal dari peninggalan Belanda di bidang kuliner khususnya kue.
Adanya bahan rum sebagai salah satu bahannya, menjadi salah satu bukti kue
klappertaart memang merupakan peninggalan negeri kincir angin. Klappertaart
dibuat dengan bahan dasar kelapa, tepung terigu, susu, mentega dan telur.
6. Lapis Legit
Kue lapis legit awalnya dibuat oleh
orang Belanda yang tinggal di Hindia (Indonesia) pada zaman penjajahan. Kue ini
muncul di Indonesia (Hindia) karena menggunakan rempah-rempah Indonesia,
seperti kayu manis. Dulu kue lapis legit sering disebut spekkoek (spekuk), yang diambil dari bahasa Belanda. Spek memiliki arti minyak babi yang
terlihat berlapis-lapis (perumpamaan), dan koek
adalah bolu. Nama kunonya bolu lapis, tapi sekarang berkembang menjadi
lapis legit. Jumlah lapisan minimal untuk membuat kue lapis
legit yang sempurna adalah 18 lapisan. Kue ini merupakan lambang menuju
kesuksesan di tahun baru. Orang China memiliki kepercayaan jika lapisan pada
kue semakin banyak, maka semakin berlapis-lapis pula rejeki yang akan datang
7. Kue Mangkok
Menurut sejarah, kue ini
diperkenalkan imigran Tiongkok selatan Cina yang disajikan pada acara-acara
istimewa di sepanjang tahun. Kue ini dinamakan kue mangkuk karena bentuknya
yang seperti mangkuk dan berasal dari cetakan berupa mangkuk porselen. Sekilas,
Kue mangkok sendiri menyerupai bolu kukus. Namun yang berbeda adalah kue
mangkok memiliki warna merah cerah. Warna tersebut pun menggambarkan
kebahagiaan dalam kepercayaan masyarakat etnis Tionghoa. Dalam kue mangkok terdapat nilai yang
melambangkan harapan dalam kehidupan. Bentuk merekah itulah yang dijadikan
nilai-nilai positif oleh leluhur, dan itu menjadi sebuah tradisi di kalangan
warga Tionghoa. Warna merah kue mangkok melambangkan kemakmuran atau
kesejahteraan. Dalam perayaan Imlek, jumlah kue mangkok yang disajikan saat
berkumpul dengan keluarga harus berjumlah ganjil. Semakin banyak jumlah yang
disajikan, semakin besar pula berkah, kebahagiaan, dan kemakmurannya. Kue
mangkok pun menjadi salah satu barang persembahan di altar bagi para leluhur di
setiap upacara perayaan. Kue ini melambangkan dunia, akhirat, dan neraka.
Leluhur yang mendapatkan persembahan pun, dipercaya akan mengabulkan permohonan
manusia untuk selalu berkembang dengan baik dan merekah dalam perjalanan
hidupnya. Sembahyang dengan menyertakan kue mangkok berarti harapan kita ingin
seperti kue tersebut (merekah/berkembang) dan disampaikan kepada dewa atau
leluhur.
8. Ombus-Ombus
Camilan
ini mirip seperti kue pisang yang banyak dijual di Jakarta, sama-sama dibalut
oleh daun pisang dan nikmat disantap kala panas. Warna dan bentuknya pun sama,
dan memiliki daging berwarna putih kenyal. Namun yang menjadi pembeda adalah
isi di dalamnya. Isinya terbagi menjadi dua varian. Varian merah yang berarti
gula merah dan varian putih yang berarti isi di dalamnya kelapa muda parut yang
telah dibubuhkan gula. Makanan ini selalu dijumpai pada acara adat, terutama
untuk peletakan batu pertama masuk rumah baru. Biasanya ombus-ombus yang masih panas cara
makannya harus dihembus-hembus terlebih dahulu. Kue ini biasanya dibentuk
menyerupai limas dan dibungkus daun pisang, proses pembuatannya tidak begitu
rumit, dimulai dari tepung beras, kelapa parut yang tidak terlalu tua, dan
dicampur. Kemudian parutan gula merah (aren), dan air secukupnya. Setelah
merata seluruh adonan, kemudian dibungkus dengan daun pisang, lalu dikukus
hingga matang.
9. Tempoyak
Tempoyak yang banyak dijual di
Malaysia dan Indonesia bagian Sumatera dan Kalimantan. Tempoyak menggunakan
bagian daging durian yang dicampur dengan garam. Daging durian ini kemudian
disimpan dengan suhu ruang selama tiga hingga lima hari. Ide awal pembuatan
tempoyak adalah karena begitu melimpahnya panen durian sehingga masyarakat
kesulitan untuk menyimpannya. Akhirnya terpikirlah untuk diawetkan secara alami
menggunakan garam, yang akhirnya menjadi tempoyak. Tempoyak umumnya disajikan sebagai lauk dan
dimakan bersama nasi, tetapi bisa juga dicampur sebagai bumbu dan penyedap
sambal. Tempoyak sangat populer di Pulau Sumatera terutama Jambi, Palembang dan
Lampung. Juga Kalimantan. Penjual tempoyak paling banyak ditemui saat musim
durian.
10. Rusip
Rusip merupakan makanan khas Bangka,
terbuat dari fermentasi ikan bilis
(Clupeoides borneensis). Rusip difermentasi bersama gula merah, air kerak
nasi, garam, dan juga jeruk kunci. Ikan bilis merupakan ikan laut yang biasa
menjadi hasil tangkapan nelayan di Bangka. Setelah ikan difermentasi dan
mengeluarkan bau asam, kemudian diolah bersama bawang dan cabai. Ada dua pilihan cara menikmati rusip. Pertama,
hasil fermentasi ikan teri, kemudian dimasak lagi dengan potongan bawang merah
dan cabai. Atau langsung dimakan begitu saja sebagai cocolan. Masyarakat
Muntok, Bangka, menggunakan rusip sebagai penambah selera makan dengan lalapan.
11. Arsik
Arsik atau Na Niarsik merupakan
makanan khas orang Batak, Sumatera Utara. “Na Niarsik” artinya di-marsik-kan
atau dikeringkan. Dengan kata lain, “Dekke Na Niarsik”, ikan yang dimasak
terus-menerus sampai kuahnya kering, bumbunya menyerap ke ikan mas tersebut. Tidak sembarang orang bisa
memberikan Na Niarsik, hanya hula-hula atau kerabat dari pihak istri saja yang
boleh memberikan, baik itu orang tua kandung, saudara laki-laki pihak istri,
atau komunitas marga pihak istri. Satu ekor diberikan bagi pasangan yang baru
menikah. Tiga ekor bagi pasangan yang baru mempunyai anak. Lima ekor untuk
pasangan yang baru mempunyai cucu. Tujuh ekor diberikan bagi pemimpin bangsa
Batak. Ikan yang dimasak juga tidak bisa sembarangan, harus jenis ikan mas
terbaik, yang berwarna merah. Terdapat 16 macam bumbu dalam masakan tersebut,
yang beberapa diantaranya hanya bisa ditemui di Tanah Batak. Itulah sebabnya,
ikan arsik punya citarasa yang khas. Na Niarsik adalah makanan yang
menjadi bagian dari adat Batak yang memiliki cerita dari mulai kelahiran,
perkawinan, hingga meninggal. Na Niarsik penting dalam upacara adat Batak
terkait dengan siklus kehidupan. Cara mengolahnya seperti masakan ikan pada
umumnya. Setelah dibersihkan dan dicuci, ikan segar dilumuri jeruk untuk
membuang bau amisnya. Setelah bersih, perut ikan diisi dengan lokio atau bawang
Batak dan kacang panjang. Proses masaknya adalah menyatukan ikan dengan semua
bumbu-bumbu hingga masak dan menjadi sedikit mengering. Oleh karena itulah,
istilahnya ikan dimasak kering.
12. Kue Keranjang
Kue keranjang disebut dengan “Nian
Gao”. Dalam dialek Hokkien, kue keranjang disebut Ti Kwe, artinya 'kue manis'
yang sering disusun tinggi bertingkat-tingkat dengan penyusunan dari bawah
hingga atas semakin kecil yang memiliki arti sebagai peningkatan rejeki atau
kemakmuran. Di negara asalnya, terdapat sebuah kebiasaan untuk menyantap kue
keranjang ini terlebih dahulu saat tahun baru dengan harapan mendapatkan
keberuntungan dalam pekerjaan. Masyarakat Tionghoa selalu memegang tradisi
untuk menyediakan kue tersebut sebagai sajian upacara persembahan kepada
leluhur. Tradisi itu dilakukan saat tujuh hari menjelang dan pada saat malam
menjelang Tahun Baru Imlek. Kue keranjang juga masih akan disajikan sampai
malam ke-15 setelah Tahun Baru Imlek. Bentuknya yang bulat dan padat
melambangkan harapan bagi keluarga untuk selalu solid, bersatu, dan tetap
rukun. sebuah pesan kekeluargaan tanpa melihat ada yang lebih penting selain
keluarga dan akan selalu bersama tanpa batas waktu. Harapan itu juga dibawa ke
dalam doa agar bisa menjalani tahun yang baru yang lebih baik. Selain itu,
tekstur kue yang lengket juga dijadikan simbol sebagai harapan agar hubungan di
dalam keluarga semakin lengket dan akrab. Proses pembuatan kue keranjang juga
menarik, karena membutuhkan waktu lama yaitu sekitar 11 sampai 12 jam. Hal itu
menyiratkan pesan untuk meningkatkan kesabaran, keteguhan hati, serta cita-cita
dalam hidup. Kue keranjang juga ditujukan
sebagai hidangan untuk menyenangkan Dewa Tungku, Cau Kun Kong agar membawa
laporan yang menyenangkan kepada Raja Surga, Giok Hong Siang Te. Kue ini terbuat dari tepung ketan
dan gula yang menjadikan kue keranjang ini memiliki tekstur yang kenyal dan
lengket. Dalam proses pembuatannya wadah cetakan kue tersebut bentuknya
keranjang, maka dari itu disebut kue keranjang.
Menurut legenda, ada sebuah mitos
dalam sejarah terciptanya kue keranjang atau Nian Gao. Pada zaman China kuno, ada seekor raksasa yang bernama
'Nian' tinggal di sebuah gua yang berada di gunung, dan akan keluar dari gua
untuk berburu hewan ketika merasa lapar. Pada musim dingin, hewan-hewan banyak
yang berhibernasi dan membuat Nian ini turun ke desa-desa dan mencari korban
untuk disantap ketika ia lapar Banyak masyarakat desa hidup dengan ketakutan
dengan Nian selama beberapa dekade. Sampai akhirnya ada seorang warga desa yang
bernama 'Gao' memiliki akal yang cerdik dengan membuat beberapa kue sederhana
yang terbuat dari campuran tepung ketan dan gula ini kemudian diletakkan di depan pintu untuk
diberikan kepada Nian. Ketika Nian turun untuk mencari mangsa, Nian tidak lagi
mencari manusia untuk dijadikan sebagai santapan namun menemukan kue-kue
keranjang ini di depan pintu dan menyantapnya hingga kenyang dan kemudian pergi
meninggalkan desa. Setelah Nian pergi kembali ke gunung, warga desa senang
karena akhirnya mereka tidak menjadi santapan Nian. Sejak saat itu, penduduk
desa membuat kue keranjang pada setiap musim dingin untuk mencegah Nian memburu
dan memakan manusia . Dan untuk mengingat jasa Gao yang sudah berhasil mencegah
Nian memburu manusia dan menemukan kue beras ini, para penduduk desa menamakan
kue ini sebagai “Nian Gao”.
13. Lepet
Lepet berarti silep kang rapet atau mari kita kubur/tutup yang rapat. Jadi setelah mengaku lepat, meminta maaf, menutup kesalahan yang sudah dimaafkan, jangan diulang lagi, agar persaudaraan semakin erat seperti lengketnya ketan dalam lepet. Sunan Kalijaga yang
pertama kali memperkenalkan pada masyarakat Jawa tentang filosofi ketupat.
Sunan Kalijaga membudayakan 2 kali bakda, yaitu bakda lebaran dan bakda
kupatan, dimulai seminggu sesudah lebaran. Dalam filosofi Jawa,
ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau kupat merupakan kependekan dari ngaku lepat dan laku papat. Ngaku lepat
artinya mengakui kesalahan. Laku papat artinya empat tindakan. Tradisi
sungkeman menjadi implementasi ngaku lepat (mengakui kesalahan) bagi orang
Jawa. Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah
hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain. Laku
empat ada dalam tradisi kupatan, yakni: 1). Lebaran (sudah usai, menandakan
berakhirnya waktu puasa), 2). Luberan (meluber atau melimpah, ajakan bersedekah
untuk kaum miskin dalam kewajiban pengeluaran zakat fitrah), 3). Leburan (sudah
habis dan lebur. Dosa dan kesalahan akan melebur habis karena setiap umat Islam
dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain, 4). Laburan (berasal dari kata
labur, dengan kapur yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih
dinding. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batinnya).
14. Lumpia Semarang
Lun atau lum berarti lunak atau
lembut, bergantung pada dialek pengucapan. Pia sendiri berasal dari dialek
Hokkian (Tionghoa) yang berarti kue. Pada awalnya lumpia Semarang ini tidak digoreng
jadi seperti kue lainnya. Lumpia Semarang sendiri konon merupakan kuliner
perpaduan Cina-Indonesia yang hadir pada abad ke 19, lumpia semarang awalnya
dibuat oleh pasangan Tjoa Thay Joe dari Cina dan Mbak Wasih yang menghasilkan
cita rasa manis yang digemari masyarakat Semarang. Semua
bermula dari saat Tjoa Thay Joe yang lahir di Fujian, memutuskan untuk tinggal
dan menetap di Semarang dengan membuka bisnis makanan khas Tiong hoa berupa
makanan pelengkap berisi daging babi dan rebung. Tjoa Thay Joe kemudian bertemu
dengan Mbak Wasih, orang asli Jawa yang juga berjualan makanan yang hampir sama
hanya saja rasanya lebih manis dan berisi kentang juga udang. Seiring
waktu berjalan, mereka bukannya bermusuhan, malah saling jatuh cinta dan
kemudian menikah. Bisnis yang dijalankan pun akhirnya dilebur menjadi satu
dengan sentuhan sentuhan perubahan yang malah makin melengkapi kesempurnaan
rasa makanan lintas budaya Tiong Hoa – Jawa. Isi dari kulit lumpia dirubah
menjadi ayam atau udang yang dicampur dengan rebung serta dibungkus dengan
kulit lumpia. Keunggulannya adalah udang dan telurnya yang tidak amis,
rebungnya juga manis, serta kulit lumpia yang renyah jika digoreng. Jajanan
ini biasanya dipasarkan di Olympia Park, pasar malam Belanda tempat biasa
mereka berjualan berdua. Oleh karena itu makanan ini dikenal dengan nama
Lumpia. Usahanya makin besar, hingga dapat diteruskan oleh anak anaknya, mereka
adalah Siem Gwan Sing, Siem Hwa Noi yang membuka cabang di Mataram dan Siem
Swie Kiem yang meneruskan usaha warisan ayahnya di Gang Lombok
no. 11. Dan juga Siem Siok Lien, anak dari Siem Swie Hie yang lebih dikenal
dengan nama Lumpia
Mba Liendi Pemuda dan Pandanaran. Lumpia bisa dinikmati dengan dua cara. Pertama,
lumpia digoreng hingga menjadikan kulit lumpia menjadi renyah dan menimbulkan
sensasi crispy. Kedua, dengan cara
disantap basah, yakni setelah isi lumpia digulung dengan kulit langsung
disajikan. Kulit lumpia lebih lunak dan tidak alot saat digigit.
15. Gatot/ Tiwul/ Gaplek
Tiwul dan gatot merupakan makanan
khas dari Gunung Kidul yang memiliki rasa manis dan juga gurih. Dahulu, tiwul
dikenal sebagai makanan pengganti nasi. Namun, sekarang makanan ini telah
berubah menjadi camilan yang lezat. Tiwul merupakan makanan yang terbuat dari
ketela pohon atau singkong yang sudah dikeringkan atau yang biasanya disebut
dengan gaplek. Cara membuatnya, pertama singkong dikupas lalu
dikeringkan atau dijemur, sehingga berubahlah menjadi gaplek. Setelah menjadi
gaplek, kemudian gaplek diubah menjadi tepung dengan cara digiling menggunakan
mesin. Pada zaman dahulu tidak digiling, melainkan ditumbuk menggunakan lesung.
Setelah menjadi tepung, barulah proses membuat tiwul dimulai, yaitu dengan
membuat adonan dengan tempat berbentuk bulat dari anyaman bambu, atau yang
dikenal dengan tampah. Adonan tepung dari gaplek hanya menggunakan air yang
sedikit, sehingga akan menjadi butiran-butiran kecil. Adonan ini lalu dikukus
menggunakan dandang hingga matang, tambahkan pandan supaya aromanya wangi.
Untuk menambah rasa pada tiwul, cukup menambahkan gula jawa serta parutan kelapa.
Gula jawa akan memberikan rasa manis, sedangkan rasa gurih diperoleh dari
parutan kelapa. Nama Gatot, berasal dari Gagal Total yang ditujukan untuk
singkong yang tak bisa tumbuh maksimal umbinya. Gunung Kidul terkenal akan
tanah yang tandus dan kering dengan hasil pertanian yang tak banyak. Proses
pembuatannya lumayan lama karena memakai singkong yang dijemur hingga kering
berjamur menjadi gaplek. Jika akan diolah, gaplek direndam semalaman,
dipotong-potong kemudian dikukus bersama gula merah hingga empuk. Bedanya gatot dan tiwul terletak pada perlakuan
gaplek. Untuk membuat gatot, gaplek direndam semalaman, dicuci, dipotong
kecil-kecil, dan dikukus sekitar 2 jam. Sedangkan untuk membuat tiwul, gaplek
perlu dihaluskan hingga menjadi tepung. Tepung kemudian diberi campuran air
gula dan gula Jawa lalu diaduk di atas tampah hingga berbentuk butiran kecil.
16. Ketupat Lebaran
Kanjeng Sunan Kalijaga yang pertama
kali memperkenalkan ketupat pada masyarakat Jawa. Sunan Kalijaga membudayakan 2 kali
BAKDA, yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai seminggu
sesudah lebaran. Pada hari yang disebut BAKDA KUPAT tersebut, di tanah Jawa
waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda.
Setelah selesai dianyam, ketupat diisi dengan beras kemudian dimasak. Ketupat
tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, sebagai lambang kebersamaan. Dalam filosofi Jawa, ketupat lebaran
bukanlah sekedar hidangan khas hari raya lebaran. Ketupat memiliki makna
khusus. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku
Lepat dan Laku Papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Laku papat
artinya empat tindakan, Adapun filosofi ketupatL
1. Mencerminkan beragam
kesalahan manusia. Hal ini bisa terlihat dari rumitnya bungkusan ketupat
ini.
2. Kesucian hati. Setelah
ketupat dibuka, maka akan terlihat nasi putih dan hal ini mencerminkan
kebersihan dan kesucian hati setelah memohon ampunan dari segala kesalahan.
3. Mencerminkan kesempurnaan. Bentuk
ketupat begitu sempurna dan hal ini dihubungkan dengan kemenangan umat Islam
setelah sebulan lamanya berpuasa dan akhirnya menginjak Idul Fitri.
4. Karena ketupat biasanya dihidangkan
dengan lauk yang bersantan. Itulah makna, arti serta filosofi dari ketupat.
Betapa besar peran para Wali dalam memperkenalkan agama Islam dengan
menumbuhkembangkan tradisi budaya sekitar, seperti tradisi lebaran dan hidangan
ketupat yang telah menjadi tradisi dan budaya hingga saat ini.
Empat tindakan atau laku papat terdiri atas
1. Lebaran. dari kata lebar yang berarti selesai. Ini dimaksudkan
bahwa tanggal satu Syawal adalah tanda selesainya menjalani puasa, maka tanggal
itu biasa disebut dengan Lebaran.
2. Luberan,
berarti melimpah. Ibarat air dalam tempayan, isinya melimpah, sehingga tumpah
ke bawah. Ini simbol yang memberikan pesan untuk memberikan sebagian hartanya
kepada fakir miskin, yaitu sedekah dengan ikhlas seperti tumpah atau lubernya
air dari tempayan tersebut.
3. Leburan, maksudnya
adalah bahwa semua kesalahan dapat lebur (habis) dan lepas serta dapat
dimaafkan pada hari tersebut. Yang terakhir adalah
4. Laburan. Di Jawa, labur atau kapur adalah bahan untuk
memutihkan dinding. Ini sebagai simbol yang memberikan pesan untuk senantiasa
menjaga kebersihan diri lahir dan batin. Jadi maksudnya, setelah melaksanakan leburan (saling maaf memaafkan)
dipesankan untuk tetap menjaga sikap dan
melakukan tindakan yang baik, sehingga dapat mencerminkan budi pekerti yang
baik pula.
Selain sebagai simbol maaf, dahulu
ketupat juga sering digantung di atas pintu masuk rumah sebagai semacam jimat
penolak bala. Namun, tradisi tersebut sekarang sudah jarang dilakukan. Di Bali
ketupat sering pula dipersembahkan sebagai sesajian upacara. Bungkus ketupat yang berupa pola
anyaman dari janur kelapa yang rumit. Secara simbolis, maknanya adalah
kerumitan kesalahan yang sudah dilakukan. Warna putih dari nasi saat ketupat
dibelah melambangkan kesucian hati setelah mengakui kesalahan lalu saling
memaafkan satu dengan yang lain.
Komentar
Posting Komentar