KEBUDAYAAN MAKANAN
Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi kelangsungan hidup manusia. Tidak hanya itu, ternyata setiap negara juga memiliki budaya makanan tersendiri, baik dari cara penyajian hingga mengonsumsinya. Indonesia sudah dikenal memiliki banyak sekali makanan tradisional mulai dari Sabang sampai Merauke. Setiap makanan tradisional tersebut tentunya menyimpan sebuah cerita sejarah yang berhubungan dengan kebudayaan Indonesia. Berikut ini terdapat 16 jenis makanan tradisional Indonesia yang mengandung unsur sejarah dan budaya.
1. Kalebo
Kaledo atau singkatan dari Kaki Lembu Donggala merupakan hidangan khas kota Palu, Sulawesi Tengah, asalnya dari Bukit Tadulako, Kabupaten Donggala dan memiki arti tidak keras, karena daging kaledo sendiri telah melalui proses
perebusan yang panjang sehingga tidak keras saat digigit. Cara memasaknya adalah pertama kaki lembu atau sapi direbus dengan garam, asam jawa dan
bumbu rica-rica yang terdiri dari cabai serta bumbu ulek. Setelah itu biarkan
hingga kaki lembu empuk dan mengeluarkan kaldu. Kaledo pun siap disajikan bersama air perasa jeruk nipis,
bawang goreng dan sambal. Biasanya kaledo disantap dengan menggunakan sedotan untuk dapat menikmati bagian sumsumnya.
2. Apem Boyolali

3. Roti Buaya

4. Dendeng

5. Klapertart
Klappertaart adalah ikon daerah
Sulawesi Utara (Manado) juga telah masuk dalam Makanan Khas Nusantara bersama
dengan 30 jenis makanan lainnya dari berbagai daerah. Klappertaart adalah kue
yang menjadi ikon khas daerah Manado, berasal dari kata Klapa dan Taart yang
berarti kue kelapa. Nama kue ini di daerahnya bisa juga disebut pie kelapa.
Konon kue ini berasal dari peninggalan Belanda di bidang kuliner khususnya kue.
Adanya bahan rum sebagai salah satu bahannya, menjadi salah satu bukti kue
klappertaart memang merupakan peninggalan negeri kincir angin. Klappertaart
dibuat dengan bahan dasar kelapa, tepung terigu, susu, mentega dan telur.
6. Lapis Legit
Kue lapis legit awalnya dibuat oleh
orang Belanda yang tinggal di Hindia (Indonesia) pada zaman penjajahan. Kue ini
muncul di Indonesia (Hindia) karena menggunakan rempah-rempah Indonesia,
seperti kayu manis. Dulu kue lapis legit sering disebut spekkoek (spekuk), yang diambil dari bahasa Belanda. Spek memiliki arti minyak babi yang
terlihat berlapis-lapis (perumpamaan), dan koek
adalah bolu. Nama kunonya bolu lapis, tapi sekarang berkembang menjadi
lapis legit. Jumlah lapisan minimal untuk membuat kue lapis
legit yang sempurna adalah 18 lapisan. Kue ini merupakan lambang menuju
kesuksesan di tahun baru. Orang China memiliki kepercayaan jika lapisan pada
kue semakin banyak, maka semakin berlapis-lapis pula rejeki yang akan datang
7. Kue Mangkok
Menurut sejarah, kue ini
diperkenalkan imigran Tiongkok selatan Cina yang disajikan pada acara-acara
istimewa di sepanjang tahun. Kue ini dinamakan kue mangkuk karena bentuknya
yang seperti mangkuk dan berasal dari cetakan berupa mangkuk porselen. Sekilas,
Kue mangkok sendiri menyerupai bolu kukus. Namun yang berbeda adalah kue
mangkok memiliki warna merah cerah. Warna tersebut pun menggambarkan
kebahagiaan dalam kepercayaan masyarakat etnis Tionghoa. Dalam kue mangkok terdapat nilai yang
melambangkan harapan dalam kehidupan. Bentuk merekah itulah yang dijadikan
nilai-nilai positif oleh leluhur, dan itu menjadi sebuah tradisi di kalangan
warga Tionghoa. Warna merah kue mangkok melambangkan kemakmuran atau
kesejahteraan. Dalam perayaan Imlek, jumlah kue mangkok yang disajikan saat
berkumpul dengan keluarga harus berjumlah ganjil. Semakin banyak jumlah yang
disajikan, semakin besar pula berkah, kebahagiaan, dan kemakmurannya. Kue
mangkok pun menjadi salah satu barang persembahan di altar bagi para leluhur di
setiap upacara perayaan. Kue ini melambangkan dunia, akhirat, dan neraka.
Leluhur yang mendapatkan persembahan pun, dipercaya akan mengabulkan permohonan
manusia untuk selalu berkembang dengan baik dan merekah dalam perjalanan
hidupnya. Sembahyang dengan menyertakan kue mangkok berarti harapan kita ingin
seperti kue tersebut (merekah/berkembang) dan disampaikan kepada dewa atau
leluhur.
8. Ombus-Ombus

9. Tempoyak

10. Rusip
11. Arsik

12. Kue Keranjang
Kue keranjang disebut dengan “Nian
Gao”. Dalam dialek Hokkien, kue keranjang disebut Ti Kwe, artinya 'kue manis'
yang sering disusun tinggi bertingkat-tingkat dengan penyusunan dari bawah
hingga atas semakin kecil yang memiliki arti sebagai peningkatan rejeki atau
kemakmuran. Di negara asalnya, terdapat sebuah kebiasaan untuk menyantap kue
keranjang ini terlebih dahulu saat tahun baru dengan harapan mendapatkan
keberuntungan dalam pekerjaan. Masyarakat Tionghoa selalu memegang tradisi
untuk menyediakan kue tersebut sebagai sajian upacara persembahan kepada
leluhur. Tradisi itu dilakukan saat tujuh hari menjelang dan pada saat malam
menjelang Tahun Baru Imlek. Kue keranjang juga masih akan disajikan sampai
malam ke-15 setelah Tahun Baru Imlek. Bentuknya yang bulat dan padat
melambangkan harapan bagi keluarga untuk selalu solid, bersatu, dan tetap
rukun. sebuah pesan kekeluargaan tanpa melihat ada yang lebih penting selain
keluarga dan akan selalu bersama tanpa batas waktu. Harapan itu juga dibawa ke
dalam doa agar bisa menjalani tahun yang baru yang lebih baik. Selain itu,
tekstur kue yang lengket juga dijadikan simbol sebagai harapan agar hubungan di
dalam keluarga semakin lengket dan akrab. Proses pembuatan kue keranjang juga
menarik, karena membutuhkan waktu lama yaitu sekitar 11 sampai 12 jam. Hal itu
menyiratkan pesan untuk meningkatkan kesabaran, keteguhan hati, serta cita-cita
dalam hidup. Kue keranjang juga ditujukan
sebagai hidangan untuk menyenangkan Dewa Tungku, Cau Kun Kong agar membawa
laporan yang menyenangkan kepada Raja Surga, Giok Hong Siang Te. Kue ini terbuat dari tepung ketan
dan gula yang menjadikan kue keranjang ini memiliki tekstur yang kenyal dan
lengket. Dalam proses pembuatannya wadah cetakan kue tersebut bentuknya
keranjang, maka dari itu disebut kue keranjang.
Menurut legenda, ada sebuah mitos
dalam sejarah terciptanya kue keranjang atau Nian Gao. Pada zaman China kuno, ada seekor raksasa yang bernama
'Nian' tinggal di sebuah gua yang berada di gunung, dan akan keluar dari gua
untuk berburu hewan ketika merasa lapar. Pada musim dingin, hewan-hewan banyak
yang berhibernasi dan membuat Nian ini turun ke desa-desa dan mencari korban
untuk disantap ketika ia lapar Banyak masyarakat desa hidup dengan ketakutan
dengan Nian selama beberapa dekade. Sampai akhirnya ada seorang warga desa yang
bernama 'Gao' memiliki akal yang cerdik dengan membuat beberapa kue sederhana
yang terbuat dari campuran tepung ketan dan gula ini kemudian diletakkan di depan pintu untuk
diberikan kepada Nian. Ketika Nian turun untuk mencari mangsa, Nian tidak lagi
mencari manusia untuk dijadikan sebagai santapan namun menemukan kue-kue
keranjang ini di depan pintu dan menyantapnya hingga kenyang dan kemudian pergi
meninggalkan desa. Setelah Nian pergi kembali ke gunung, warga desa senang
karena akhirnya mereka tidak menjadi santapan Nian. Sejak saat itu, penduduk
desa membuat kue keranjang pada setiap musim dingin untuk mencegah Nian memburu
dan memakan manusia . Dan untuk mengingat jasa Gao yang sudah berhasil mencegah
Nian memburu manusia dan menemukan kue beras ini, para penduduk desa menamakan
kue ini sebagai “Nian Gao”.
13. Lepet
14. Lumpia Semarang
Lun atau lum berarti lunak atau
lembut, bergantung pada dialek pengucapan. Pia sendiri berasal dari dialek
Hokkian (Tionghoa) yang berarti kue. Pada awalnya lumpia Semarang ini tidak digoreng
jadi seperti kue lainnya. Lumpia Semarang sendiri konon merupakan kuliner
perpaduan Cina-Indonesia yang hadir pada abad ke 19, lumpia semarang awalnya
dibuat oleh pasangan Tjoa Thay Joe dari Cina dan Mbak Wasih yang menghasilkan
cita rasa manis yang digemari masyarakat Semarang. Semua
bermula dari saat Tjoa Thay Joe yang lahir di Fujian, memutuskan untuk tinggal
dan menetap di Semarang dengan membuka bisnis makanan khas Tiong hoa berupa
makanan pelengkap berisi daging babi dan rebung. Tjoa Thay Joe kemudian bertemu
dengan Mbak Wasih, orang asli Jawa yang juga berjualan makanan yang hampir sama
hanya saja rasanya lebih manis dan berisi kentang juga udang. Seiring
waktu berjalan, mereka bukannya bermusuhan, malah saling jatuh cinta dan
kemudian menikah. Bisnis yang dijalankan pun akhirnya dilebur menjadi satu
dengan sentuhan sentuhan perubahan yang malah makin melengkapi kesempurnaan
rasa makanan lintas budaya Tiong Hoa – Jawa. Isi dari kulit lumpia dirubah
menjadi ayam atau udang yang dicampur dengan rebung serta dibungkus dengan
kulit lumpia. Keunggulannya adalah udang dan telurnya yang tidak amis,
rebungnya juga manis, serta kulit lumpia yang renyah jika digoreng. Jajanan
ini biasanya dipasarkan di Olympia Park, pasar malam Belanda tempat biasa
mereka berjualan berdua. Oleh karena itu makanan ini dikenal dengan nama
Lumpia. Usahanya makin besar, hingga dapat diteruskan oleh anak anaknya, mereka
adalah Siem Gwan Sing, Siem Hwa Noi yang membuka cabang di Mataram dan Siem
Swie Kiem yang meneruskan usaha warisan ayahnya di Gang Lombok
no. 11. Dan juga Siem Siok Lien, anak dari Siem Swie Hie yang lebih dikenal
dengan nama Lumpia
Mba Liendi Pemuda dan Pandanaran. Lumpia bisa dinikmati dengan dua cara. Pertama,
lumpia digoreng hingga menjadikan kulit lumpia menjadi renyah dan menimbulkan
sensasi crispy. Kedua, dengan cara
disantap basah, yakni setelah isi lumpia digulung dengan kulit langsung
disajikan. Kulit lumpia lebih lunak dan tidak alot saat digigit.
15. Gatot/ Tiwul/ Gaplek

16. Ketupat Lebaran
Kanjeng Sunan Kalijaga yang pertama
kali memperkenalkan ketupat pada masyarakat Jawa. Sunan Kalijaga membudayakan 2 kali
BAKDA, yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai seminggu
sesudah lebaran. Pada hari yang disebut BAKDA KUPAT tersebut, di tanah Jawa
waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda.
Setelah selesai dianyam, ketupat diisi dengan beras kemudian dimasak. Ketupat
tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, sebagai lambang kebersamaan. Dalam filosofi Jawa, ketupat lebaran
bukanlah sekedar hidangan khas hari raya lebaran. Ketupat memiliki makna
khusus. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku
Lepat dan Laku Papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Laku papat
artinya empat tindakan, Adapun filosofi ketupatL
1. Mencerminkan beragam
kesalahan manusia. Hal ini bisa terlihat dari rumitnya bungkusan ketupat
ini.
2. Kesucian hati. Setelah
ketupat dibuka, maka akan terlihat nasi putih dan hal ini mencerminkan
kebersihan dan kesucian hati setelah memohon ampunan dari segala kesalahan.
3. Mencerminkan kesempurnaan. Bentuk
ketupat begitu sempurna dan hal ini dihubungkan dengan kemenangan umat Islam
setelah sebulan lamanya berpuasa dan akhirnya menginjak Idul Fitri.
4. Karena ketupat biasanya dihidangkan
dengan lauk yang bersantan. Itulah makna, arti serta filosofi dari ketupat.
Betapa besar peran para Wali dalam memperkenalkan agama Islam dengan
menumbuhkembangkan tradisi budaya sekitar, seperti tradisi lebaran dan hidangan
ketupat yang telah menjadi tradisi dan budaya hingga saat ini.
Empat tindakan atau laku papat terdiri atas
1. Lebaran. dari kata lebar yang berarti selesai. Ini dimaksudkan
bahwa tanggal satu Syawal adalah tanda selesainya menjalani puasa, maka tanggal
itu biasa disebut dengan Lebaran.
2. Luberan,
berarti melimpah. Ibarat air dalam tempayan, isinya melimpah, sehingga tumpah
ke bawah. Ini simbol yang memberikan pesan untuk memberikan sebagian hartanya
kepada fakir miskin, yaitu sedekah dengan ikhlas seperti tumpah atau lubernya
air dari tempayan tersebut.
3. Leburan, maksudnya
adalah bahwa semua kesalahan dapat lebur (habis) dan lepas serta dapat
dimaafkan pada hari tersebut. Yang terakhir adalah
4. Laburan. Di Jawa, labur atau kapur adalah bahan untuk
memutihkan dinding. Ini sebagai simbol yang memberikan pesan untuk senantiasa
menjaga kebersihan diri lahir dan batin. Jadi maksudnya, setelah melaksanakan leburan (saling maaf memaafkan)
dipesankan untuk tetap menjaga sikap dan
melakukan tindakan yang baik, sehingga dapat mencerminkan budi pekerti yang
baik pula.
Selain sebagai simbol maaf, dahulu
ketupat juga sering digantung di atas pintu masuk rumah sebagai semacam jimat
penolak bala. Namun, tradisi tersebut sekarang sudah jarang dilakukan. Di Bali
ketupat sering pula dipersembahkan sebagai sesajian upacara. Bungkus ketupat yang berupa pola
anyaman dari janur kelapa yang rumit. Secara simbolis, maknanya adalah
kerumitan kesalahan yang sudah dilakukan. Warna putih dari nasi saat ketupat
dibelah melambangkan kesucian hati setelah mengakui kesalahan lalu saling
memaafkan satu dengan yang lain.
Komentar
Posting Komentar