MAKNA KETUPAT
Pengertian ketupat masih dikaji menggunakan ilmu “gathuk”, yaitu ilmu dari pemahaman yang dicocok-cocokkan dan kebetulan cocok. Oleh sebab itu, tak heran apabila ketupat akan memiliki makna dan pengertian yang berbeda-beda bagi setiap orang [1]. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa berarti "ngaku lepat". Arti tersebut berisi pesan bahwa seseorang harus meminta maaf saat melakukan sesuatu yang salah. Perilaku ini telah menjadi kebiasaan atau tradisi pada saat Syawal pertama atau hari raya lebaran Idul Fitri. Saat hari raya tersebut, ketupat disajikan dengan lauk pauk yang bermacam-macam untuk menjadi makanan perayaan setelah menjalani puasa. Ketupat digunakan sebagai simbol pengakuan kesalahan terhadap Tuhan maupun sesama manusia. Ketupat juga ditafsirkan sebagai "laku papat" atau empat tindakan. Sebutan papat juga diartikan sebagai simbol dari 4 macam nafsu, yakni mutmainah, amarah, supiah, dan aluamah. Laku papat sebagai wujud permohonan maaf dan mengakui atas dosa-dosa atau nafsu yang telah dilakukan. Penafsiran lainnya adalah bahwa empat tindakan yang dimaksud merupakan lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran dari kata lebar berarti pintu permintaan maaf sudah terbuka lebar setelah perayaan lebaran karena manusia harus memaafkan orang lain sehingga manusia boleh menerima banyak berkah. Luberan berarti melimpah yang memberi pesan untuk manusia agar berbagi kelebihan mereka kepada rakyat kecil melalui amal. Leburan berarti saling memaafkan. Semua kesalahan dan dosa dilebur dan dapat diampuni karena semua umat manusia diminta untuk saling mengampuni satu sama lain. Laburan berarti orang-orang suci dan bebas dari dosa manusia lahir dan batin. Dalam hal ini, ketupat memberi pesan untuk menjaga kejujuran diri. Setelah melakukan leburan, manusia diharapkan dapat merefleksikan sikap dan tindakan yang buruk dan merubahnya menjadi baik.
Berdasarkan akademisi dari bidang antropologi, Bapak Drs. Irwan Martua Hidayana, beliau memaknai ketupat sebagai salah satu simbol solidaritas sosial atau hubungan timbal balik yang dikenal dengan hukum resiprositas. Beliau mengatakan bahwa pemaknaan ini didasarkan pada budaya menyajikan ketupat, yaitu dengan saling memberikan ketupat satu dengan yang lain dengan sanak saudara, keluarga, dan kerabat. Perilaku saling memberikan ketupat ini menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara satu orang kepada yang lainnya atau saling bertukar barang. Perilaku tersebut menandakan adanya hubungan sosial karena adanya kontak dan komunikasi dengan sesama yang akan berujung pada sikap solidaritas.
Bahan dasar ketupat, yakni beras dan daun kelapa muda memiliki makna tersendiri. Beras melambangkan gairah, sedangkan daun kelapa muda sebagai janur melambangkan “jatinung nur” atau hati nurani yang bersih. Oleh sebab itu, ketupat dapat menjadi simbol dengan pengertian bahwa seorang manusia harus dapat menahan gairah dunia dengan batasan-batasan yang dibentuk oleh hati nurani masing-masing. Selain itu, beras putih dan janur pembungkus ketupat memiliki arti tersendiri bagi seorang akademisi budaya dan sastra Jawa, yaitu Bapak Darmoko, S.S., M.Hum. Beras putih isi selongsongan ketupat dimaknai sebagai simbol kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Janur kuning kehijauan pembungkus ketupat digunakan sebagai salah satu simbol penolak bala layaknya kain panjang yang dikenakan para abdi dalem di keraton Surakarta. Beras putih sebagai isian ketupat yang akan nampak ketika ketupat dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kemurnian hati manusia setelah memaafkan orang lain. Bentuk segi empat yang sempurna dari ketupat melambangkan kemenangan umat Islam setelah sebulan berpuasa hingga sampai pada hari raya lebaran Idul Fitri. Sajian berupa ketupat dengan variasi pemasakan menggunakan santan adalah sebagai simbol permintaan maaf. Santan dalam bahasa Jawa disebut dengan “santen” yang bermakna “pangapunten” atau permohonan maaf. Ada sajak Jawa yang berbunyi "kulo lepat nyuwun ngapunten" yang berarti "saya salah mohon maaf" [2].
Ketupat dibungkus dengan daun kelapa muda/janur yang dianyam. Anyaman rumit pembungkus ketupat menunjukkan betapa rumitnya kesalahan/dosa yang diperbuat oleh manusia. Anyaman ketupat memiliki beberapa jenis bentuk, umumnya segi empat. Menurut akademisi budaya dan sastra Jawa, Bapak Darmoko, S.S., M.Hum, segi empat dalam bentuk ketupat melambangkan prinsip “kiblat papat lima pancer”, yang bermakna bahwa ke mana pun manusia menuju, pasti selalu kembali kepada Allah. Prinsip ini dapat juga diartikan sebagai empat macam nafsu manusia, yaitu amarah berupa nafsu emosional, aluamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar, supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah, dan mutmainah atau nafsu untuk memaksa diri. Keempat nafsu ini yang akan ditaklukkan orang selama masa berpuasa. Oleh sebab itu, dengan memakan ketupat, maka seseorang disimbolkan sudah mampu menaklukkan keempat nafsu tersebut.
Proses penggantungan ketupat setelah dimasak disimbolkan sebagai salah satu bentuk atau tradisi penolak bala dari segala kejahatan. Oleh karena itu, ketupat seringkali digantung di depan pintu rumah untuk menolak kejahatan dan makhluk halus dari luar yang akan masuk ke dalam rumah [3].
Ketupat juga digunakan sebagai pelengkap dalam persembahan pada saat upacara yang merayakan masa empat bulan kehamilan. Ketupat disimbolkan sebagai bentuk doa bagi anak yang akan lahir. Jika anak yang akan lahir adalah anak laki-laki, ketupat digunakan sebagai bentuk doa agar anak laki-laki tersebut kelak memiliki posisi yang tinggi, sedangkan jika anak yang akan lahir adalah anak perempuan, maka diharapkan anak tersebut memiliki tampilan yang cantik dan berbudi luhur
Selain dijadikan sebagai persembahan dalam upacara adat kehamilan, ketupat juga dijadikan sebagai persembahan pada tanggal 7 Syawal yakni 6 hari setelah perayaan Idul Fitri. Adat yang dilakukan disebut sebagai “bakda kecil” atau “slametan kecil”. Adat ini dilakukan hanya oleh keluarga yang memiliki anak kecil yang sudah meninggal. Ketupat menjadi makanan persembahan yang digantung di pintu luar dengan maksud sebagai simbol bagi anak kecil yang sudah meninggal dapat berpulang dan makan di sana tanpa mempedulikan siapa pun yang ada di luar [4].
Referensi
Komentar
Posting Komentar