Filosofi Naniura
Naniura merupakan salah satu makanan khas dari etnis Batak Toba yang berada di daerah Tapanuli Utara. Uniknya dahulu sebelum kemerdekaan RI bahkan sebelum Belanda mulai menjajah Indonesia, makanan ini disajikan khusus untuk para raja. Raja yang dimaksud adalah seorang pemimpin suatu wilayah tertentu yang terpilih atas kecakapan dan keramahannya kepada masyarakat sekitar, seperti raja Sisingamangaraja dari Bakkara, raja Sidabutar dari Tomok, dan raja Urung Tongging dari daerah pinggir Danau Toba Kabupaten Tanah Karo.
Pada zaman dahulu masyarakat Batak menganut kepercayaan animisme, maka diperkirakan kehadiran para raja ini juga dianggap sebagai pemimpin spiritualnya. Salah satu kepercayaan masyarakat Batak pada waktu itu adalah ritual tidak bersentuhan dengan api. Selain itu, dalam kebudayaan Batak apabila bertamu maka sang tamu diharuskan membawa makanan yang diperuntukan untuk tuan rumahya, maka dalam rangka kegiatan spiritual masyarakat Batak akan menyajikan makanan yang tidak bersentuhan dengan api kepada pemimpin spiritualnya ketika mereka menemuinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun masakan Naniura tidak dipergunakan dalam prosesi adat Batak, Naniura masih mengandung unsur spiritual yang dapat memengaruhi perilaku kehidupan masyarakat Batak sekitar. Ditinjau dari budaya yang melatarbelakangi makanan ini, menurut Sampe Naniura termasuk salah satu makanan yang tidak terbentuk dari peristiwa alkuturasi maupun asimilasi budaya, melainkan murni makanan lokal Batak.
Mengingat kehidupan masyarakat Batak dekat dengan perairan maka mereka cenderung untuk memanfaatkan sumber daya alam sekitar perairan, salah satunya ikan Ihan. Ikan ihan ini merupakan ikan yang habitatnya berada di sungai bawah pegunungan yang berbatuan dimana sungai ini bermuara ke danau Toba, sehingga masyarakat Batak umumnya mengira bahwa ikan Ihan ini berhabitat di danau Toba. Dahulu berhubung populasi ikan Ihan besar maka masyarakat Batak Toba menggunakan ikan tersebut dalam beberapa masakan seperti Arsik dan Naniura. Namun seiring waktu populasi ikan Ihan menjadi turun akibat perilaku masyarakat yang merusak habitat ikan tersebut, maka masyarakat Batak mulai mensubtitusikannya dengan ikan mas. Penggunaan ikan mas ini sebenarnya dipengaruhi oleh kehadiran Belanda yang pada waktu itu menjajah Indonesia, karena ikan mas ini sendiri aslinya berasal dari negara Cina dan Eropa yang kemudian baru dikembangkan di Sumatera Utara pada tahun 1905. Berhubung teknik budidaya ikan mas ini mudah, maka masyarakat Batak sering menggunakan ikan mas dalam masakannya.
Saat ini karena masyarakat lokal Batak sudah meninggalkan kepercayaan animisme, maka terjadi perubahaan perilaku kehidupan masyarakat sekitar. Naniura tidak lagi diperuntukkan khusus para raja saja, namun masyarakat umum sudah bisa menikmati Naniura dan dapat disajikan pada perayaan khusus namun tidak bersifat wajib. Perayaan khusus yang dimaksudkan adalah kelahiran, ulang tahun, pernikahan, pembaptisan, ataupun kematian.
Naniura merupakan makanan asli suku Batak yang tidak dipengaruhi oleh akulturasi atau asimilasi dari budaya luar. Masyarakat awam berpendapat bahwa Naniura memiliki kemiripan dengan makanan khas Jepang yaitu Sashimi. Namun, tidak ada bukti konkrit yang menyatakan bahwa Naniura merupakan makanan hasil akulturasi dan asimilasi dari budaya Jepang. Menurut narasumber, yaitu Bapak Sampe Sitorus, makanan Naniura sudah ada sebelum masyarakat Jepang datang ke Indonesia. Makanan Naniura juga dianggap benar-benar makanan khas Medan tanpa adanya percampuran kebudayaan lain di Indonesia, karena tidak ada makanan serupa atau makanan yang mirip dengan Naniura sebagai makanan khas daerah lain di Indonesia. Dalam upacara adat masyarakat Batak, Naniura tidak dihidangkan sebagai sajian utama atau sebagai sebuah hidangan yang membawa makna tertentu. Naniura disajikan sebagai hidangan sampingan atas permintaan tuan rumah.
Komentar
Posting Komentar